Rabu, 03 Agustus 2016

FILOSOFI KOPI : JEJAK MASA LALU & MASA MUDA




Kopi tiwus... jelas telah mengubah jalan hidup mereka. Hidup Ben & Jody seutuhnya. Makna kesempurnaan tidak lah lagi penting bagi mereka. Malah ketidaksempurnaan lah yang membuat hidup mereka jadi sempurna. Obsesi Ben yang selama ini dia anut kini berubah bentuk, menjadi rasa dan aroma yang tulus. Begitu juga dengan Jody, sekarang dia punya kalkulator baru dalam hidupnya, berupa angka-angka perdamaian yang kini terlihat nyata. Saat ini mereka naik 1 level, ke level kehidupan yang lebih tulus dan nyata.

Sejak usia 12 tahun, mereka seperti tak terpisahkan. Mereka saling melengkapi, seperti menemukan soulmatenya masing-masing. Masih teringat jelas di ingatan Jody ketika Ben tiba-tiba datang ke rumahnya di Jakarta. Sambil membawa tas besar berisi banyak pakaian Ben nekat kabur sendirian dari kampung halamannya di Wonosobo ke Jakarta. Anak ini memang impulsif, Jody tahu benar sifat sahabatnya itu. Pertemuan mereka pertama kali pun juga karena sifat keimpulsifannya.

Saat itu mereka masih berusia 10 tahun, Jody dan keluarganya sedang berlibur ke daerah Dieng. Sedangkan Ben bersama temannya yang saat itu juga sedang libur sekolah, mencoba mendapatkan uang jajan lebih dengan berjualan kue sagon bakar di daerah Telaga Cebong. Jody dan keluarga yang waktu itu baru turun dari Bukit Sikunir tanpa sengaja menghampiri jajanan Ben. Penampilan Jody yang saat itu hanya menggunakan kaos dan celana pendek menarik perhatian Ben. Belum pernah dia melihat orang kota yang nekat bercelana pendek dan tanpa jaket itu mendaki bukit dengan suhu yang lumayan dingin saat itu. Dan yang semakin menggelitik Ben adalah melihat wajah putih Jody dengan hidungnya yang memerah, menandakan bahwa sebenarnya dia kedinginan tapi sekuat tenaga coba ditahannya. Sambil menahan tawa Ben langsung melemparkan sarung kesayangannya ke arah Jody tanpa berkata apapun. Jody yang mengerti maksudnya langsung menutupi seluruh badannya dengan sarung pemberian Ben berharap bisa merasakan sedikit kehangatan.

Setelah merasa cukup hangat dan hendak kembali ke penginapan, Jody kemudian menghampiri Ben untuk mengembalikan sarungnya dan mengucapkan terima kasih. Ben tidak menggubris ucapan terima kasih Jody, kali ini dia malah tertarik dengan kamera aneh yang tergantung di leher Jody waktu itu. Jody mencoba menjelaskan kamera apa itu. Kamera yang dibawanya adalah kamera polaroid yang mampu mencetak foto hanya dalam waktu singkat. Tanpa aba-aba tiba-tiba Jody langsung memotret Ben yang ada di depannya. Sambil tertawa kecil Jody memperlihatkan foto hasil jepretannya kepada Ben, di situ terlihat wajah lucu Ben yang kaget karena dipotret. Lalu oleh Jody foto itu diberikan kepada Ben sebagai ucapan terima kasihnya. Tapi kemudian wajah Ben yang tadinya ceria berubah datar. Ben mengeluarkan sebuah spidol dan menuliskan sesuatu di belakang foto dirinya. Ben mengembalikan foto tersebut beserta sarung kesayangannya kepada Jody lalu pergi begitu saja.

Sekembalinya di penginapan, Jody kembali melihat tulisan dibalik foto hasil jepretannya. Disitu tertulis alamat sebuah rumah dan 1 kalimat bahasa jawa "ngumbah klambi ketat pisanan" yang tidak dimengerti Jody sama sekali. Namun di hari terakhir liburannya di Dieng, setelah bertanya kepada pemilik penginapan mengenai arti dari kalimat itu, akhirnya Jody meminta orangtuanya untuk mengantarnya ke alamat rumah yang tertera di belakang foto bocah aneh yang ditemuinya beberapa hari lalu. Itulah pertama kalinya mereka saling berkenalan, mengetahui nama masing-masing. Jody akhirnya mengerti maksud dari tulisan Ben. Ben meminta Jody mengembalikan sarungnya dalam keadaan bersih, dalam keadaan sudah dicuci. Disitulah aliran kimia diantara mereka mulai tercipta, mereka langsung akrab. Seperti kawan lama yang sudah lama tidak berjumpa. Ben mengenalkan Jody pada obsesinya, kopi. Sedangkan Jody mengenalkan Ben pada dunia luar yang selama ini tidak pernah disentuhnya.

Sejak itulah mereka mulai bersahabat. Walaupun terpisah jauh oleh jarak karena tinggal di kota berbeda, mereka tetap terkoneksi. Saling mengunjungi ke kota masing-masing menjadi agenda liburan mereka. Bersahabat pena pun menjadi salah satu media mereka kala itu. Hingga 2 tahun kemudian tiba-tiba Ben datang ke Jakarta tanpa pemberitahuan apapun. Jody tahu benar kalau sahabatnya itu impulsif, Jody juga tahu kalau Ben baru saja kehilangan Ibunya. Tapi Jody sama sekali tidak menyangka kalau Ben bisa senekat itu. Kabur ke Jakarta dengan bekal seadanya jelas bukan kelakuan bocah 12 tahun pada umumnya. Tapi itulah Ben, dengan segala sifat dominannya.

Setelah berkompromi dengan keluarga Jody, Ben akhirnya diizinkan tinggal bersama keluarga Jody di Jakarta. Ayah Ben yang sebenarnya tidak menyetujui keputusan anaknya tidak bisa berbuat apa-apa. Keluarga Jody yang hangat dan sayang kepada Ben membuatnya betah. Ben seperti menemukan kembali keluarga utuhnya. Apalagi Ayah Jody yang sudah menganggapnya seperti anak sendiri, tidak seperti Ayah kandungnya yang berubah perangai sejak kematian Ibunya. Bertahun-tahun Ben tinggal di rumah keluarga Jody dan makin jarang mengunjungi Ayahnya.

Ben dan Jody pun semakin tak terpisahkan, dimana ada Jody disitu juga lah Ben berada. Tapi sedekat apapun mereka, tetap tidak bisa menyembunyikan perbedaan karakter diantara keduanya. Jody yang jenius dan begitu fokus dengan nilai akademiknya, sedangkan Ben yang cuek tapi punya minat besar terhadap kopi. Ben ingat betul waktu mereka masih di bangku SMA. Orang-orang di sekitarnya aneh melihat Ben dan Jody bisa bersahabat akrab padahal mereka punya karakter dan minat yang berbeda jauh. Mungkin karena perbedaan itulah yang membuat mereka bersahabat, seperti 2 sisi magnet yang saling tarik menarik.

Tapi ada 1 momen yang paling tidak bisa dilupakan Ben dan Jody, yaitu kisah cinta mereka di SMA. Mereka mungkin memang punya karakter yang berbeda, tapi sayangnya kisah cinta mereka bernasib sama, kandas sebelum berkembang. Jody yang kaku dan terkesan nerd di sekolahnya, berkali-kali gagal menyatakan cinta pada gadis yang ditaksirnya. Sekali pun berhasil malah berbuah penolakan yang sering ditertawakan Ben. Sedangkan Ben, dengan sifatnya yang cuek dan kurang peka / sensitif, tidak jarang mendapatkan tamparan dari gadis-gadis yang menganggapnya tukang playboy.

Namun dynimate duo ini terpaksa terpisah sementara ketika masuk bangku kuliah. Ayah Jody memang sudah lama menyiapkan Jody menjadi penggantinya, menjadi penerus usaha keluarganya. Oleh karena itu Jody sengaja disekolahkan di kampus terbaik di Aussie jurusan bisnis, berharap kelak bisa melanjutkan dan melebarkan sayap usaha keluarganya. Sedangkan Ben setelah memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah, mulai bekerja membantu usaha keluarga Jody sambil tetap mencari jati dirinya pada kopi.

Tidak ada komentar: