Kopi tiwus... jelas
telah mengubah jalan hidup mereka. Hidup Ben & Jody seutuhnya. Makna
kesempurnaan tidak lah lagi penting bagi mereka. Malah
ketidaksempurnaan lah yang membuat hidup mereka jadi sempurna. Obsesi
Ben yang selama ini dia anut kini berubah bentuk, menjadi rasa dan aroma
yang tulus. Begitu juga dengan Jody, sekarang dia punya kalkulator baru
dalam hidupnya, berupa angka-angka perdamaian yang kini terlihat nyata.
Saat ini mereka naik 1 level, ke level kehidupan yang lebih tulus dan
nyata.
Sejak usia 12 tahun,
mereka seperti tak terpisahkan. Mereka saling melengkapi, seperti
menemukan soulmatenya masing-masing. Masih teringat jelas di ingatan
Jody ketika Ben tiba-tiba datang ke rumahnya di Jakarta. Sambil membawa
tas besar berisi banyak pakaian Ben nekat kabur sendirian dari kampung
halamannya di Wonosobo ke Jakarta. Anak ini memang impulsif, Jody tahu
benar sifat sahabatnya itu. Pertemuan mereka pertama kali pun juga
karena sifat keimpulsifannya.
Saat itu mereka masih
berusia 10 tahun, Jody dan keluarganya sedang berlibur ke daerah Dieng.
Sedangkan Ben bersama temannya yang saat itu juga sedang libur sekolah,
mencoba mendapatkan uang jajan lebih dengan berjualan kue sagon bakar di
daerah Telaga Cebong. Jody dan keluarga yang waktu itu baru turun dari
Bukit Sikunir tanpa sengaja menghampiri jajanan Ben. Penampilan Jody
yang saat itu hanya menggunakan kaos dan celana pendek menarik perhatian
Ben. Belum pernah dia melihat orang kota yang nekat bercelana pendek
dan tanpa jaket itu mendaki bukit dengan suhu yang lumayan dingin saat
itu. Dan yang semakin menggelitik Ben adalah melihat wajah putih Jody
dengan hidungnya yang memerah, menandakan bahwa sebenarnya dia
kedinginan tapi sekuat tenaga coba ditahannya. Sambil menahan tawa Ben
langsung melemparkan sarung kesayangannya ke arah Jody tanpa berkata
apapun. Jody yang mengerti maksudnya langsung menutupi seluruh badannya
dengan sarung pemberian Ben berharap bisa merasakan sedikit kehangatan.
Setelah merasa cukup
hangat dan hendak kembali ke penginapan, Jody kemudian menghampiri Ben
untuk mengembalikan sarungnya dan mengucapkan terima kasih. Ben tidak
menggubris ucapan terima kasih Jody, kali ini dia malah tertarik dengan
kamera aneh yang tergantung di leher Jody waktu itu. Jody mencoba
menjelaskan kamera apa itu. Kamera yang dibawanya adalah kamera polaroid
yang mampu mencetak foto hanya dalam waktu singkat. Tanpa aba-aba
tiba-tiba Jody langsung memotret Ben yang ada di depannya. Sambil
tertawa kecil Jody memperlihatkan foto hasil jepretannya kepada Ben, di
situ terlihat wajah lucu Ben yang kaget karena dipotret. Lalu oleh Jody
foto itu diberikan kepada Ben sebagai ucapan terima kasihnya. Tapi
kemudian wajah Ben yang tadinya ceria berubah datar. Ben mengeluarkan
sebuah spidol dan menuliskan sesuatu di belakang foto dirinya. Ben
mengembalikan foto tersebut beserta sarung kesayangannya kepada Jody
lalu pergi begitu saja.
Sekembalinya di
penginapan, Jody kembali melihat tulisan dibalik foto hasil jepretannya.
Disitu tertulis alamat sebuah rumah dan 1 kalimat bahasa jawa "ngumbah
klambi ketat pisanan" yang tidak dimengerti Jody sama sekali. Namun di
hari terakhir liburannya di Dieng, setelah bertanya kepada pemilik
penginapan mengenai arti dari kalimat itu, akhirnya Jody meminta
orangtuanya untuk mengantarnya ke alamat rumah yang tertera di belakang
foto bocah aneh yang ditemuinya beberapa hari lalu. Itulah pertama
kalinya mereka saling berkenalan, mengetahui nama masing-masing. Jody
akhirnya mengerti maksud dari tulisan Ben. Ben meminta Jody
mengembalikan sarungnya dalam keadaan bersih, dalam keadaan sudah
dicuci. Disitulah aliran kimia diantara mereka mulai tercipta, mereka
langsung akrab. Seperti kawan lama yang sudah lama tidak berjumpa. Ben
mengenalkan Jody pada obsesinya, kopi. Sedangkan Jody mengenalkan Ben
pada dunia luar yang selama ini tidak pernah disentuhnya.
Sejak itulah mereka
mulai bersahabat. Walaupun terpisah jauh oleh jarak karena tinggal di
kota berbeda, mereka tetap terkoneksi. Saling mengunjungi ke kota
masing-masing menjadi agenda liburan mereka. Bersahabat pena pun menjadi
salah satu media mereka kala itu. Hingga 2 tahun kemudian tiba-tiba Ben
datang ke Jakarta tanpa pemberitahuan apapun. Jody tahu benar kalau
sahabatnya itu impulsif, Jody juga tahu kalau Ben baru saja kehilangan
Ibunya. Tapi Jody sama sekali tidak menyangka kalau Ben bisa senekat
itu. Kabur ke Jakarta dengan bekal seadanya jelas bukan kelakuan bocah
12 tahun pada umumnya. Tapi itulah Ben, dengan segala sifat dominannya.
Setelah berkompromi
dengan keluarga Jody, Ben akhirnya diizinkan tinggal bersama keluarga
Jody di Jakarta. Ayah Ben yang sebenarnya tidak menyetujui keputusan
anaknya tidak bisa berbuat apa-apa. Keluarga Jody yang hangat dan sayang
kepada Ben membuatnya betah. Ben seperti menemukan kembali keluarga
utuhnya. Apalagi Ayah Jody yang sudah menganggapnya seperti anak
sendiri, tidak seperti Ayah kandungnya yang berubah perangai sejak
kematian Ibunya. Bertahun-tahun Ben tinggal di rumah keluarga Jody dan
makin jarang mengunjungi Ayahnya.
Ben dan Jody pun semakin
tak terpisahkan, dimana ada Jody disitu juga lah Ben berada. Tapi
sedekat apapun mereka, tetap tidak bisa menyembunyikan perbedaan
karakter diantara keduanya. Jody yang jenius dan begitu fokus dengan
nilai akademiknya, sedangkan Ben yang cuek tapi punya minat besar
terhadap kopi. Ben ingat betul waktu mereka masih di bangku SMA.
Orang-orang di sekitarnya aneh melihat Ben dan Jody bisa bersahabat
akrab padahal mereka punya karakter dan minat yang berbeda jauh. Mungkin
karena perbedaan itulah yang membuat mereka bersahabat, seperti 2 sisi
magnet yang saling tarik menarik.
Tapi ada 1 momen yang
paling tidak bisa dilupakan Ben dan Jody, yaitu kisah cinta mereka di
SMA. Mereka mungkin memang punya karakter yang berbeda, tapi sayangnya
kisah cinta mereka bernasib sama, kandas sebelum berkembang. Jody yang
kaku dan terkesan nerd di sekolahnya, berkali-kali gagal menyatakan
cinta pada gadis yang ditaksirnya. Sekali pun berhasil malah berbuah
penolakan yang sering ditertawakan Ben. Sedangkan Ben, dengan sifatnya
yang cuek dan kurang peka / sensitif, tidak jarang mendapatkan tamparan
dari gadis-gadis yang menganggapnya tukang playboy.
Namun dynimate duo ini terpaksa terpisah sementara ketika masuk bangku kuliah. Ayah Jody memang sudah lama menyiapkan Jody menjadi penggantinya, menjadi penerus usaha keluarganya. Oleh karena itu Jody sengaja disekolahkan di kampus terbaik di Aussie jurusan bisnis, berharap kelak bisa melanjutkan dan melebarkan sayap usaha keluarganya. Sedangkan Ben setelah memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah, mulai bekerja membantu usaha keluarga Jody sambil tetap mencari jati dirinya pada kopi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar